Memahami Metode Dalam Penerjemahan
Pokok tujuan dari kegiatan penerjemahan adalah mengalihkan suatu teks sumber ke dalam teks bahasa lain. Untuk sampai pada tujuan itu, penterjemah memerlukan jalan, cara atau teknik untuk mencapainya dan hal ini dalam istilah Newmark dinamakan metode, dan beberapa kalangan menamainya dengan teknik, prosedur, atau strategi. Dalam sebuah proses penerjemahan yang dihadapi oleh seorang penterjemah adalah teks atau wacana yang sangat kental dipengaruhi oleh idiolek (gaya pribadi) penulis/ pengarang, penggunaan gramatikal dan leksikal yang konvensional, yang tergantung pada topik dan situasi, unsur-unsur isi teks, harapan pembaca dan pandangan serta praduga penerjemah (Newmark, 1988:5). Oleh karena itu, penterjemah memiliki tugas yang tidak ringan. Menurut Newmark, penterjemah bekerja dalam 4 (empat) peringkat: pertama, penerjemahan sebagai sains yang menuntut pengetahuan dan verifikasi fakta yang memeriksanya; kedua, penerjemahan sebagai keterampilan yang menuntut bahasa yang wajar dan penggunaan yang diterima; ketiga, penerjemahan sebagai seni yang membedakan adanya tulisan yang baik dan yang tidak baik yang menuntut tingkat kreativitas, intuisi, dan inspirasi dalam penerjemahan; keempat, penerjemahan adalah masalah rasa, dalam hal ini argumentasi terhenti dan terasa adanya preferensi (kecenderungan cita rasa pilih), dan keragaman terjemahan merupakan cermin adanya perbedaan individu.
Beberapa pendapat para ahli terkait Metode dalam Penerjemahan, diantaranya:
Menurut Catford (1965: 21), masalah utama praktik terjemahan adalah pada pencarian padanan dalam bahasa sasaran yang ciri serta keadaannya harus dijelaskan oleh suatu teori.
Untuk mendapatkan padanan dalam BSa, Catford membagi terjemahan berdasarkan pada rentang atau extent: Seluruh dan Sebagian (Full and Partial), Tingkatan atau Levels: menyeluruh dan terbatas (total and restricted), dan tataran atau ranks: terikat pada tataran, kata demi kata, harfiah dan bebas (rank bound and word for word, literal and free). Lihat pendapat Catford dengan detail…
Lain halnya dengan Larson (1984: 15-16) yang memilah terjemahan berasas pada bentuk dari terjemahan berasas makna. Larson menyebut terjemahan berasas bentuk dengan istilah terjemahan harfiah, dan terjemahan berasas makna dengan istilah terjemahan idiomatis. Terjemahan harfiah, yang dikatagorikan sebagai terjemahan linier, berguna untuk mempelajari BSu, tapi kurang membantu penutur BPa yang tertarik pada makna teks BSu. Sementara yang menjadi inti dalam penerjemahan idiomatis adalah untuk menghasilkan makna BSu (yakni maksud yang dikehendaki penulis asli) dalam bentuk BSa yang alamiah/ wajar. Penerjemahan ini menggunakan bentuk-bentuk BSa yang wajar, baik dalam konstruksi gramatis maupunn dalam pilihan kata. Oleh karena itu, terjemahan yang benar-benar idiomatis terlihat seperti bukan suatu terjemahan, dia nampak seperti buah karya tulisan BSa asli.
Newmark (1988: 45-47) mengajukan metode terjemahan berasas penekanan penggunaan bahasa, baik BSu maupun BSa. Newmark mengklasifikasikan metode ini ke dalam 8 (delapan) macam, diantaranya: penerjemahan kata demi kata, penerjemahan harfiah, penerjemahan setia, penerjemahan semantis, adaptasi, penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatis, dan penerjemahan komunikatif. Lihat pendapat Newmark dengan detail…
Dari paparan para ahli yang dikutip di atas, terlihat jelas bahwa terdapat satu garis kesamaan yakni pada dasarnya proses penerjemahan mencakup tiga bagian besar, yakni: kata demi kata, harfiah, dan bebas yang masing-masing ragam ini memiliki peruntukannya sendiri terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing.
reference by.
Otong Setiawan Dj: Teknik dan Panduan Menerjemahkan Bahasa Inggris- Bahasa Indonesia.
presented by.
Mitra Penerjemah